ARTIKEL ANTROPOLOGI I
MANUSIA PURBA DI INDONESI
DAN SITUS PURBAKALA TRINIL
Di ajukan sebagai tugas
mata kuliah antropologi untuk menempuh ujian akhir semester
Di susun oleh :
Agung Tri Cahyono 123100000
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MERDEKA
MADIUN
MADIUN
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena
dengan izin NYA penulis dapat menyelesaikan artikel yang berjudul: “Manusia
Purba di indonesia dan hubunganya dengan situs purbakala trinil”
Artikel ini merupakan syarat yang ditempuh penulis dalam
mengikuti ujian akhir semester dua mata kuliah wajib antropologi. Dengan
selesainya sebuah artikel ini. Penulis sangat berterima kasih kepada pihak
pihak yang telah membantu menyelesaikan sebuah artikel ini
Penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun
yang dapat para pembaca lontarkan. Dan penulis berharap artikel ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Madiun 20 juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
I.2 Tujuan Penulisan
I.3. Metode Penulisan
BAB II POKOK BAHASAN
II.1. Definisi dan diskripsi
tentang zaman prasejarah
II.2.Riwayat situs purbakala
trinil
BAB III PEMBAHASAN
II.1.
Definisi dan diskripsi
tentang zaman pra sejarah atau zaman purba dan elemen elemen
yang ada di dalam nya.
II.2.Riwayat situs purba kala trinil dan beberapa
fosil yang pernah di temukan di sana
BAB IV PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
IV.2. Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Keberadaan manusia prasejarah sejak dulu memang ada itu dapat di
buktikan dengan adanya sebuah peninggalan mereka berupa batu yang berbentuk
atau relief missilink ataupun artefak artefak yang pernah ditemukan para ahli.
Dan tak boleh ketinggalan keberadaan mereka jelas terbukti ada dengan adanya
suatu situs purbakala di beberapa tempat di dunia. Karena pada dasarnya tempat
yang sedemikian adalah tempat dimana suatu manusia purba ataupun mahluk purba
melakukan semua kegiatan mereka. Dan hal itu terekam jelas di sekitar situs
tersebut.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud di tulisnya sebuah artikel ini adalah sebagai srana
penulis menyalurkan sebuah pengetahuan ntentang sedikit ilmu antropologi kepada
para pembaca. Dan sebagai sarana atau alat untuk menempuh ujian semester
makalah wajib antropologi.
I.3 Metode penulisan
metode yang digunakan penulis dalam membuat sebuah artikel
tentang keberadaan manusia purba yang ada di indonesia dan hubungannya dengan keberadaan beberapa
situs di indonesia . adalah dengan metode pustaka dan terjun langsung dalam
lokasi serta sedikit bertanya kepada narasumbur yang ada.
BAB II
POKOK BAHASAN
II.1 Manusia purba yang
ada di indonesia
II.2 Keberadaan situs
Purbakala Trinil
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 SEJARAH MANUSIA
PURBA DI INDONESIA
Darimanakah asal-usul manusia
Indonesia? Untuk menjawab tentang asal-usul manusia Indonesia ada banyak teori
yang menjelaskannya. Indonesia termasuk salah satu negara tempat ditemukannya
manusia purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat dilakukan
berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang belulang,
baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang usianya sekitar
ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia
purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari benda-benda peninggalannya
yang biasa disebut dengan artefak. Manusia
purba yang ditemukan di Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hampir sama
dengan manusia purba yang ditemukan di negara-negara lainnya di dunia.
Bahkan Indonesia dapat dikatakan
mewakili penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah penemuan manusia purba
di Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa. Penemuan fosil
manusia purba di Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah
satu jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir memiliki kesamaan
dengan yang ditemukan di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang manusia purba
di Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19 para sarjana dari luar
meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama yang meneliti manusia
purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang
dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di
Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia.
Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E.
Dubois menemukan fosil yang ia beri nama Pithecanthropus Erectus di
dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi
(Madiun).
E. Dubois pertama-tama menemukan
sebagian rahang. Kemudian pada tahun berikutnya kira-kira 40 km dari tempat
penemuan pertama, ditemukan sebuah geraham dan bagian atas tengkorak. Pada
tahun 1892, beberapa meter dari situ ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah
tulang paha kiri. Untuk membedakan apakah fosil itu, fosil manusia atau kera,
E.Dubois memperkirakan isi atau volume otaknya. Volume otak dari fosil yang
ditemukan itu, diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki volume otak lebih
dari 1000 cc, sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600 cc. Jadi, fosil
yang ditemukan di Trinil merupakan makhluk di antara manusia dan kera. Bentuk
fisik dari makhluk itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan ada yang
menyerupai manusia. Oleh karena bentuk yang demikian, maka E. Dubois memberi
nama Pithecanthropus Erectus artinya
manusia-kera yang berjalan tegak (pithekos
= kera, anthropus =
manusia, erectus =
berjalan tegak). Jika makhluk ini kera, tentu lebih tinggi tingkatnya dari
jenis kera, dan jika makhluk ini manusia harus diakui bahwa tingkatnya lebih
rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum menemukan fosil tempurung
kepala (cranium) dan
tulang paha tengah(femur),
Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar
teori tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk
meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing
link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih berada
dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah tiga landasan teori
yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama, seperti halnya
dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah
tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba
yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua,
Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di
daerah geografi yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi,
binatang yang paling mirip dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek
moyang kera besar diduga mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang
dekat dengan manusia. Charles Darwin dalam bukunya The
Descent of Man (1871) mengatakan,
manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse.
Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara
merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut
Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan
dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorila dan
simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti
perkembangan penemuan fosil rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang
ditemukan di Bukit Siwalik, India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan
fosil semacam itu, maka terbuka kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan ketiga dasar teori
tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, maka
Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua adalah ditemukannya fosil
“java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang
lebih dikenal dengan nama Homo Erectus di
Trinil (Jawa Timur). Saat ini Homo Erectus dipercaya
merupakan salah satu kerabat dekat manusia modern (Homo
Sapiens).
Berdasarkan analisis para ahli
dari Berkeley dengan menggunakan metode mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental
heating analysis), diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun.
Hasil pengukuran yang melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah
dipublikasi dalam majalah ilmiah bergengsi Science vol.
263 (1994). Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan teori
Dubois adalah di missing link, yang menyebutkan
mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya “java man”. Pendapat
itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia purba di Sangiran
(Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh
lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding temuannya. Selain itu,
ada kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat
sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil
“java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia
modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java
man” berdasarkan penghitungan yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai
pembanding pada kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya
sekitar 400 cc. “Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing
linkkera-manusia, ia lebih tepat disebut manusia purba.
Penemuan fosil manusia purba yang
telah dilakukan oleh Dubois pada akhirnya mendorong penemuan-penemuan
selanjutnya yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908,
dilakukan upaya penyelidikan dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di
daerah Trinil (Jawa Timur). Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak
berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah
berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan
dukungan untuk menggambarkan lingkungan hidup manusiaPithecanthropus. G.H.R
von Koenigswald mengadakan penelitian
dari tahun 1936 sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun
1936 Koenigswald menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari
gigi tengkorak tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5
tahun. Kemungkinan tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari
Pithecanthropus Erectus, tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo
Mojokertensis.
Pada tahun-tahun selanjutnya, von
Koenigswald banyak menemukan bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya
bekas-bekas Pithecanthropus lainnya.
Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui.
Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah
Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu
lapisan Jetis (pleistosen
bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen tengah) dan
paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen
atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan
jenis manusia purba. Pithecanthropus Erectuspenemuan
E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen tengah. Pithecanthropus lainnya
ada yang di pleistosen tengah dan ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen
bawah terdapat fosil manusia purba yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus
Erectus, dan dinamakanPithecanthropus
Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat pula Homo
Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus Mojokertensis. JenisPithecanthropus memiliki
tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi
yang kuat dan menonjol.
Mereka hidup antara 2 setengah
sampai 1 setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan tumbuh-tumbuhan
dan hewan. Pithecanthropus masih
hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga
makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka masih tinggal di
padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan binatang buas. Oleh karenanya,
mereka selalu hidup secara berkelompok. Pada tahun 1941, von Koeningwald di
dekat Sangiran Lembah Sungai Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah
yang jauh lebih besar dan kuat dari rahang Pithecanthropus.
Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak pula
sifat keranya. Tidak ada dagunya. Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih
tua daripadaPithecanthropus. Makhluk
ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus (mega
= besar), karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakan hidup pada 2
juta sampai satu juta tahun yang lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich kembali
menemukan sebelas fosil tengkorak pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong
Lembah Bengawan Solo. Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada
beberapa yang dapat memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua
tengkorak itu, tidak ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai
hasil temuannya ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya
daripada Pithecanthropus Erectus, bahkan
sudah dapat dikatakan sebagai manusia. Makhluk ini oleh von Koeningswald
disebut Homo Soloensis (manusia
dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah
tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri.
Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis
manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan
kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya
masih menonjol. Dahinya masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia
ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara
juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak
(Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan
jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari
batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan menangkap
binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang buruannya
setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan dengan
cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini
menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan
jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo
Wajakensis termasuk dalam golongan bangsa
Australoide, bernenek moyang Homo
Soloensis dan nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di
Australia. Menurut von Koenigswald, Homo Wajakensis seperti
jugaHomo Solensis berasal
dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk jenis Homo
Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah sempurna mirip
dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat meninggal. Berbeda
dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia
jenis Pithecanthropus juga
ditemukan di belahan dunia lainnya. Di Asia, Pithecanthropus ditemukan
di daerah Cina, di Cina Selatan ditemukanPithecanthropus
Lautianensis dan di Cina Utara
ditemukan Pithecanthropus Pekinensis.
Diperkirakan mereka hidup berturut-turut sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang
lalu. Di Benua Afrika, fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan
di daerah Tanzania, Kenya dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropusditemukan
di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil manusia Pithecanthropus yang
terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan Cina.
Di Australia Utara ditemukan
fosil yang serupa dengan manusia jenis Homo Wajakensisyang terdapat
di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah,
dan sebuah rahang atas dari manusia purba yang ditemukan di Australia itu
sangat mirip dengan manusia Wajak. Apabila
menilik peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa
pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh karena
itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan menggunakan
jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan untuk membuat
perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan
Australia.
Setelah masa penjajahan Belanda
selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh orang Indonesia sendiri.
Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini terutama dilakukan oleh
dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti lapisan-lapisan tanah. Seorang
dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada penyelidikan tersebut adalah Prof.
Dr. Teuku Jacob. Dia memulai
penyelidikannya di daerah Sangiran. Penelitian ini kemudian meluas ke Bengawan
Solo.
III.2 KEBERDAAN SITUS
PURBAKALA TRINIL
Trinil, adalah nama
yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sejak mempelajari ilmu sejarah
ketika masih di bangku sekolah kita sudah dikenalkan dengan nama Trinil ini.
Bahkan nama Trinil juga sangat dikenal di seluruh dunia, terutama di kalangan
orang-orang yang mempunyai perhatian khusus di bidang antropologi khususnya
sejarah manusia.
Sebagai bentuk
perhatian maka dibangunlah sebuah museum di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Jawa Timur. Kemudian, museum tempat menyimpan koleksi fosil
tersebut lebih dikenal dengan nama Museum Trinil.
Arti Trinil ini konon
berasal dari pemberian nama oleh Eugene Dubois seorang berkebangsaan Belanda.
Beliau adalah orang pertama yang menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus
Erectus yang ditemukan di utara kota Ngawi, di Desa Karang Tengah.
Pithecanthropus Erectus inilah yang kemudian diyakini sebagai jawaban atas
missing link dari rangkaian teori evolusi Darwin.
Kata TRI diambil
karena lokasi tersebut berada di antara tiga desa. Di sebelah timur aliran
sungai Bengawan Solo itu adalah Desa Ngancar. Sedangkan di sebelah barat ada
Desa Kawu. Dan di sebelah utara terdapat Desa Gumarang.
Sementara kata NIL
karena dulunya para kompeni itu menyebut sungai itu dengan nama NIL. Maka
diambillah nama Trinil itu, jadi Trinil itu sebenarnya merupakan nama sebuah
situs. Dalam beberapa buku sejarah ada yang menyebutkan bahwa Trinil adalah
nama sebuah desa, padahal itu tidak benar. Yang benar adalah sebuah situs yang
bernama Trinil dan kemudian menjadi nama sebuah museum yaitu Museum Trinil.
Kabarnya fosil temuan
Eugene Dubois yang lahir di kota Eijsden, Belanda pada 28 Januari 1858 itu
terdiri dari tiga jenis fragment. Yaitu berupa gigi geraham dan atap tengkorak
yang ditemukan pada 1891 dan tulang paha yang ditemukan setahun kemudian
(1892). Penemuan ini tidak berlangsung bersamaan karena setelah penemuan
pertama sungai Bengawan Solo meluap, sehingga pencarian dihentikan. Setahun
kemudian baru ditemukan kembali fragment tulang paha yang jaraknya sekitar 12
meter dari titik penemuan pertama. Dimungkinkan hal ini terjadi karena gerakan
dari lapisan bumi.
Fosil asli temuan
Eugene Dubois kabarnya sekarang berada di Belanda, sementara yang di Museum
Trinil ini hanya replikanya saja. Semua fosil yang berada di museum ini
merupakan replika, mengingat nilainya yang sangat tinggi hingga tak ada yang
berani meletakkan di museum ini. Kalau pun ada fosil manusia yang ditemukan
biasanya langsung dibawa ke museum Suaka di Trowulan.
Trinil sendiri sangat
terkenal di luar negeri seperti Belanda, Perancis, Kanada dan negara lainnya.
Terlebih bila dilihat dari sisi sejarahnya yang sangat terkenal. Jadi tidak
aneh bila para pengunjung yang datang, terutama sebelum krisis moneter menimpa,
adalah pengunjung yang berasal dari luar negeri. Kabarnya ada wisatawan dari
Jerman yang sering berkunjung ke museum ini. Tetapi setelah krisis moneter
melanda, jumlah wisatawan asing yang datang menurun drastis. Yang ada sekarang
hanya satu-dua saja, seperti dari Belanda, Australia dan Jepang. Konon mereka
datang hanya sekedar untuk penelitian. Yang diteliti tentu saja fosil binatang
yang ada di sana, sementara untuk fosil manusia biasanya mereka hanya meneliti
lokasi penemuannya saja.
Lokasi penemuan fosil
di Trinil ini semula sempat ditandai, namun arus air yang kadang begitu besar
melalui sungai Bengawan Solo membuat tanda itu hilang. Yang tersisa hanyalah
petak-petak tanah bekas penggalian. Namun di dalam lokasi museum masih ada
tanda, sejenis monumen yang bisa dijadikan acuan di mana lokasi fosil-fosil
Jawa purba itu ditemukan. Tanda di monumen itu menunjuk ke posisi 175 meter
arah sebelah timur, tepat di sisi sungai yang melintas di dekat museum itu.
Terlepas dari untaian
cerita seperti yang tertulis dalam sejarah ditemukannya fosil-fosil di seputar
Trinil, dari hari ke hari ternyata ada saja fosil yang terus ditemukan. Para
penambang pasir yang menggantungkan hidupnya dengan mengais pasir di sekitar
aliran sungai Bengawan Solo itu, kadang mereka juga menemukan potongan-potongan
fragment tulang yang diyakini merupakan fosil, walaupun mereka sendiri
menyebutnya dengan balung (dalam bahasa Jawa yang berarti tulang).
Pemandangan yang bisa
dilihat pada pagi hari adalah banyaknya penambang pasir yang ada di sekitar
aliran sungai Bengawan Solo, mereka mengeruk pasir yang ada di seberang dan
diangkut dengan perahu ke sisi sungai yang lain. Hampir seharian mereka
mengerjakannya, hal itu harus mereka lakukan karena hanya itulah mata
pencahariannya. Tidak hanya laki-laki dewasa, tapi ada pula wanita dan
anak-anak.
Untuk bisa mencapai
lokasi seperti yang ditunjukkan dalam monumen di sekitar museum, kita harus
menyeberangi sungai dengan cara menumpang pada perahu penambang-penambang
pasir. Kadang kita akan dibuat kaget dengan adanya penawaran dari beberapa
orang penambang. Para penambang ini kerap menemukan fosil dan kadang mereka
menawarkan pada beberapa orang yang datang melihat ke sana. Para penambang
beranggapan bahwa setiap orang yang datang pasti sedang mencari atau kolektor
fosil, sehingga bila mereka menemukan tulang saat menambang maka mereka akan
menyimpannya dan akan ditawarkan pada setiap orang yang datang ke lokasi
penambangan pasir di sungai Bengawan itu. Padahal seharusnya fosil-fosil ini
diserahkan pada pihak yang berwenang karena memiliki nilai sejarah yang tinggi,
dan yang lebih memprihatinkan adalah fosil tersebut ditawarkan dengan harga
yang sangat murah, mungkin karena mereka tidak tahu dan tidak mau tahu soal
nilai sejarah yang terkandung dari fosil yang mereka temukan. Mereka juga tidak
tahu apakah itu fosil manusia purba atau fosil binatang. Yang pasti, setiap
mereka menemukan tulang pasti mereka simpan, begitu melihat orang asing yang
datang akan langsung mereka tawarkan.
Fenomena lain,
kabarnya beberapa pencari fosil yang berasal dari daerah Sangiran ada yang
datang ke Desa Kawu untuk mencari fosil. Ini terjadi karena di daerah asalnya
fosil-fosil yang nilai jualnya tidak terlalu mahal mereka jadikan sebagai
cinderamata, seperti menjadi batu akik atau pipa rokok.
Menurut cerita,
penemuan fosil oleh masyarakat setempat di situs Trinil diawali oleh penemuan
Wirodihardjo, oleh karena itu dia lebih dikenal dengan panggilan Mbah
Wirobalung. Umumnya fosil yang ditemukan dan dikumpulkannya berupa fosil binatang,
seperti tulang dan gading gajah. Pencarian itu dilakukan dengan cara sederhana
seperti di cangkul sehingga bentuk fisik dari fosil temuannya rata-rata patah
di beberapa bagian.
Mbah Wirobalung
sendiri meninggal pada usia 80-an. Sebagai penghargaan, pemerintah setempat
merenofasi rumah tinggal yang juga merupakan tempat koleksi fosil temuan yang
sudah dilakukannya sejak 1968. Pada tahun 1980 pihak Pemkab Ngawi mulai mendata
koleksinya dan bantuan pun diberikan dengan dibangunkan rumah kecil ukuran 6 x
10 meter untuk tempat koleksinya. Lokasinya masih di dalam area museum yang
sekarang. Sepuluh tahun kemudian dilakukan renovasi total (1990), melalui
anggaran APBD tingkat I sebesar 1 milyar rupiah.
Peresmiannya dilakukan
oleh gubernur Jawa Timur, kala itu dijabat oleh Soelarso. Luas kawasan museum
sekitar 1 hektar dan 2 hektar lahan diluarnya. Kawasan dalam museum merupakan
tanggung jawab dinas suaka dan purbakala. Sementara diluarnya adalah otoritas
pemerintah Kabupaen Ngawi.
Fosil Sejarah
Memasuki Desa
Sukokawu, yang berjarak lebih kurang 12 kilometer arah barat dari pusat kota
Ngawi. Tepat di ujung jalan sebelum masuk ke lokasi terdapat gapura besar
berwarna hitam, dari sana untuk bisa mencapai Museum Trinil masih harus
menempuh perjalanan sejauh 3 kilometer lagi. Museum yang berada di Dukuh Pilang
itusekilas terasa gersang, namun hal itu tidak terasa lagi bila kita memasuki
area museum karena beberapa pohon besar berdiri kokoh dan memberi keteduhan di
beberapa pelataran museum. Belum lagi adanya sebuah pendopo yang berada tepat
di depan pintu masuk. Tempat ini sering digunakan oleh para pengunjung untuk
sekedar melepaskan lelah dan beristirahat setelah berputar melihat koleksi
fosil yang ada di museum ini.
Di dalam museum
terdapat sekitar 450 fosil purbakala yang sudah diregistrasi. Sedangkan sekitar
1.000 fosil masih belum diregistrasi dan disimpan di laboratorium. Sebagian
besar fosil yang ada di sana memiliki masa yang sama, jaman pleistosin tengah,
usianya antara 1 juta hingga 500 tahun silam. Termasuk golongan homoerectus
yaitu pada jaman batu.
Tidak ada perawatan
khusus untuk fosil-fosil itu, hanya dengan bantuan silikon atau silica gel
untuk menghindari pelembaban atau penjamuran di dalam etalase, karena sangat
tidak mungkin untuk mengangkat atau membersihkan secara langsung atas
fosil-fosil itu mengingat kondisinya yang relatif rapuh. Butiran-butiran
silikon itu dimasukkan dalam gelas kecil dan diletakkan dalam etalase kaca
tempat fosil-fosil itu disimpan.
Koleksi fosil yang
tergolong baru adalah berupa gading gajah sepanjang 1,45 meter, kerang dan
fragment tulang tanduk kerbau yang ditemukan hampir bersamaan pada sekitar
bulan Oktober 1998. Fosil tersebut ditemukan dari berbagai daerah di luar situs
Trinil. Demikian pula dengan fragment tanduk kerbau yang ditemukan oleh
masyarakat sekitar. Kabarnya proses penggalian fosil yang ditemukan secara
tidak sengaja itu dilakukan secara sederhana sehingga kondisi fosilnya
patah-patah.
Selain itu ada pula
gading gajah yang ditemukan tahun 1986. Ditemukanpada lokasi sekitar 500 meter
di utara Sungai Bengawan Solo. Kondisinya juga sudah patah menjadi beberapa
bagian, juga karena proses penggaliannya yang sederhana. Bila gajah sekarang
adalah jenis Elephast, gadingnya lurus ke depan dengan panjang maksimal 1,5
meter. Sementara jenis yang ditemukan fosilnya itu bentuk gadingnya agak
menyamping dan panjangnya mencapai 3 meter lebih. Di Museum Trinil ini juga
dapat dijumpai fosil gigi gajah, tulang badak dan sapi.
BAB IV
PENUTUP
IV. KESIMPULAN
Dari beberapa materi diatas dapat disimpulkan bahwan keberadaan
manusia purba di indonesia memang ada itu terbukti dari adanya situs purbakala
di beberapa daerah di indonesia salah satunya adalah situs Purbakala trinil.
Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa situs purbakala semacam ini
layaknya sebuah kaset DVD dimana di dalam nya terdapat sebuah rekaman tentang
keberadaan manusia di zaman itu. Selain itu stus semacam ini juga menyimpan
koleksi tentang fosil fosil dimana ini bisa menjadi acuan para peneliti untuk
mempelajari struktur tubuh manusia purba dan sebagai sarana pengamatan tentang
teori evolusi.
IV. DAFTAR PUSTAKA