Senin, 28 Oktober 2013

Upaya Pelestarian Kebudayaan Indonesia agar tidak terseret dalam Arus Globalisasi


Konsepsi kebudayaan Indonesia memang sangat sulit untuk menentukan kriteria yang cocok untuk masyarakat yang hidup di negara ini. Pancasila sebagai basis ideologi, yang menyimpan nilai-nilai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ belum cukup untuk membicarakan kebudayaan Indonesia. Secara tekstual, Pancasila memang sangat relevan dengan ragam budaya yang ada. Akan tetapi, dalam realitasnya, masih banyak yang menanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dari sini, kita tidak dapat menyalahkan kondisi realitas tersebut. Pemerintah sebagai pemegang kekuasan dalam hal ini, harus cepat tanggap, melihat fenomena-fenomena ketidakpuasan terhadap nilai-nilai ideologi pancasila, gejolak dekadensi moralitas bangsa. Karena, ketimpangan sosial, kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan yang ada dalam pancasila, sudahkah aplikatif terhadap masyarakat saat ini. Kalau memang belum, satu kewajaran bila ada yang mempertanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila yang dianggap sebagai nilai-nilai dan identitas kebudayaan bangsa Indonesia. Kalau memang sudah, mari kita lihat bersama realitas obyektif yang terjadi dalam masyarakat saat ini.
Ketidak jelasan akan pemahaman nilai-nilai kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pola fikir yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Arus budaya globalisasi yang sudah mengakar dan mendarah-daging pada pola fikir masyarakat sosial. Demikian itu sudah jelas, bila dilihat dari budaya konsumtif, instan, stail, gaya hidup dan lain-lain. Budaya globalisasi tidak dapat dibendung, ditentang, apalagi ditolak. Yang mesti kita lakukan sekarang ini adalah bagaimana budaya globalisasi mendatangkan manfaat bagi budaya Indonesia, serta bagaimana memfilterisasi budaya tersebut yang mempengaruhi pada pola fikir kebudayaan bangsa Indonesia

 Dampak Globalisasi Terhadap Seni dan Budaya
Globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada seni dan kebudayaan kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dan kebudayaan Indonesia menemukan identitasnya. Tapi kerena masuknya budaya globalisasi, kebudayaan kita terreduksi oleh arus budaya yang lebih besar. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Indonesia yang percaya kepada kekuatan akar budaya tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni dan kebudayaan bisa menjadi benteng pertahanan identitas dan tradisi kita selanjutnya.

Globalisasi dan Tantangan  Masa Depan Budaya Indonesia
Melihat budaya Indonesia dalam arus globalisasi, sedikit dan banyaknya pasti mengalami perubahan. Untuk mempertahankan identitas keindonesian, perlu kiranya kita memikirkan kembali konsepsi kebudayaan Indonesia. Sekedar sebuah refleksi, budaya Indonesia seharusnya dapat ditentukan bagaimana ciri khas pola laku, fikir dan moraliras bangsa ini semestinya. Untuk memenuhi hal tersebut, maka diperlukan pengkajian ulang kebudayaan yang identik dengan masyarakat dan realitas social di Negara ini.
Agar tercipta apa yang dinamakan ‘melek budaya’, kita mestinya mengupayakan rekosntruksi kebudayaan Indonesia dengan merangkul para remaja dan saling mendukung untuk tetap menanamkan nilai-nilai asli yang ada di masyarakat dan mengetahui perubahan-perubahan pada masyarakat. Karena, posisi Indonesia di tengah-tengah kepungan arus besar globalisasi dan ragam kuasa kebudayaan dunia. 

Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan,misalnya :
 - hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara
- terjadinya erosi nilai-nilai budaya
 - menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme
 - hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong
- kehilangan kepercayaan diri
- gaya hidup kebarat-baratan

Cara  menghadapi dan melestarikan budaya Indonesia di era globalisasi
  1. Cara menghadapi era globalisasi
-          Menyaring budaya asing yang masuk ke negara kita harus yang sesuai dengan    kepribadian bangsa.
-          Mencintai atau membeli produk dalam negeri sendiri.
-          Meningkatkan produksi dalam negeri agar dapat bersaing dengan produksi negara negara maju.
-          Berusaha mengikuti perkembangan IPTEK
-          dan yang paling penting meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan YME.
-          Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
-          Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
-          Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
-          Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
-          Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, social budaya bangsa. Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai.



b.   Melestarikan budaya Indonesia di era globalisasi
Sebagai warga negara Indonesia, kita wajib melestarikan budaya-budaya negara kita sendiri agar tidak luntur atau hilang. Contohnya seperti tarian, makanan khas, baju daerah, dan sebagainya. Upaya melestarikan budaya antara lain :
1.       Paling tidak kita mengetahui tentang budaya jaman dahulu didaerah kita sendiri.
2.      Kemudian mendalami kebudayaan itu.Setelah itu kita wajib memperkenalkan kepada orang lain atau yang belum tahu tentang kebudayaan tersebut syukur-syukur sampai ke negara lain.
3.      Membiasakan hal-hal atau kegiatan yang dapat melestarikan budaya seperti memakai batik atau bahkan belajar membuat batik,karena pelestarian bisa terjadi karena kita telah terbiasa dengan kebudayaan tersebut.

Kebudayaan Lokal Indonesia adalah semua budaya yang terdapat di Indonesia yaitu segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan indonesia, baik yang ada sejak lama maupun ciptaan baru yang berjiwa nasional. Peranan budaya lokal ini mempunyai peranan yang penting dalam memperkokoh ketahanan budaya bangsa, oleh karena itu Pemerintah Daerah dituntut untuk bergerak lebih aktif melakukan pengelolaan kekayaan budaya, karena budaya tumbuh dan kembang pada ranah masyarakat pendukungnya. Disamping itu, bagi pemerintah pusat, Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat sendiri, dan elemen lainnya haruslah menyokong atas keberlangsungan dalam pengelolaan kekayaan budaya kedepan.

Kegiatan melaksanakan pengelolaan kebudayaan meliputi :
1.       perlindungan; merawat, memelihara asset budaya agar tidak punah dan rusak disebabkan oleh manusia dan alam.
2.      pengembangan; melaksanakan penelitian, kajian laporan, pendalaman teori kebudayaan dan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung dalam penelitian.
3.      pemanfaatan; melaksanakan kegiatan pengemasan produk, bimbingan dan penyuluhan, kegiatan festival dan penyebaran informasi.
4.      pendokumentasian; melaksanakan kegiatan pembuatan laporan berupa narasi yang dilengkapi dengan foto dan audio visual.  Pengelolaan kekayaan budaya sebetulnya merupakan cara kita bagaimana budaya itu bisa kita pahami, kita lindungi dan lestarikan agar dapat memperkokoh ketahanan budaya bangsa.  Hal ini terkait dengan citra, harkat, dan martabat bangsa. Ketika pengelolaan kekayaan budaya dikelola dengan baik, maka akan muncul suatu keterjaminan, kelestarian dan Kekokohan akan budaya bangsa kita.
Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa.
beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya pergeseran kebudayaan yaitu :
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang perturan-peraturan yang dapat menyebabkan pergeseran budaya bangsa
2. Masyarakat perlu berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing khususnya dan budaya bangsa pada umumnya
3. Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita, hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya
4. Masyarakat perlu menyeleksi kemunculan globalisasi kebudayaan baru, sehingga budaya yang masuk tidak merugikan dan berdampak negative.
5. Masyarakat harus berati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang merupakan jati diri bangsa kita.
Dan juga para remaja sebagai penerus bangsa di tuntut untuk mampu mngembangkan kebudayaan agar tidak mudah terpengaruh oleh adanya globalisasi ini , banyak cara yang bisa dilakukan contohnya dengan cara mengikuti program pertukaran pelajar dengan bangsa lain , dari situ kita bisa memperkenalkan budaya asli Indonesia agar tidak mudah di klaim oleh negara lain.


Rabu, 25 September 2013

makalah ku


ARTIKEL ANTROPOLOGI I
MANUSIA PURBA DI INDONESI DAN SITUS PURBAKALA TRINIL
Di ajukan sebagai tugas mata kuliah antropologi untuk menempuh ujian akhir semester



Di susun oleh :

Agung Tri Cahyono            123100000

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
MADIUN
2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena dengan izin NYA penulis dapat menyelesaikan artikel yang berjudul: “Manusia Purba di indonesia dan hubunganya dengan situs purbakala trinil”
Artikel ini merupakan syarat yang ditempuh penulis dalam mengikuti ujian akhir semester dua mata kuliah wajib antropologi. Dengan selesainya sebuah artikel ini. Penulis sangat berterima kasih kepada pihak pihak yang telah membantu menyelesaikan sebuah artikel ini
Penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun yang dapat para pembaca lontarkan. Dan penulis berharap artikel ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

      Madiun 20 juni 2013
                          Penulis

















DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN
 I.1. Latar Belakang Masalah
I.2 Tujuan Penulisan
I.3. Metode Penulisan
BAB II POKOK BAHASAN
II.1. Definisi dan diskripsi tentang zaman prasejarah
II.2.Riwayat situs purbakala trinil
BAB III PEMBAHASAN       
II.1. Definisi dan diskripsi tentang zaman pra sejarah atau zaman purba dan elemen    elemen      yang ada di dalam nya.
 II.2.Riwayat situs purba kala trinil dan beberapa fosil yang pernah di temukan di sana
BAB IV PENUTUP        
IV.1. Kesimpulan
IV.2. Daftar pustaka









BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
Keberadaan manusia prasejarah sejak dulu memang ada itu dapat di buktikan dengan adanya sebuah peninggalan mereka berupa batu yang berbentuk atau relief missilink ataupun artefak artefak yang pernah ditemukan para ahli. Dan tak boleh ketinggalan keberadaan mereka jelas terbukti ada dengan adanya suatu situs purbakala di beberapa tempat di dunia. Karena pada dasarnya tempat yang sedemikian adalah tempat dimana suatu manusia purba ataupun mahluk purba melakukan semua kegiatan mereka. Dan hal itu terekam jelas di sekitar situs tersebut.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud di tulisnya sebuah artikel ini adalah sebagai srana penulis menyalurkan sebuah pengetahuan ntentang sedikit ilmu antropologi kepada para pembaca. Dan sebagai sarana atau alat untuk menempuh ujian semester makalah wajib antropologi.
I.3 Metode penulisan
metode yang digunakan penulis dalam membuat sebuah artikel tentang keberadaan manusia purba yang ada di indonesia  dan hubungannya dengan keberadaan beberapa situs di indonesia . adalah dengan metode pustaka dan terjun langsung dalam lokasi serta sedikit bertanya kepada narasumbur yang ada.





BAB II
POKOK BAHASAN



II.1 Manusia purba yang ada di indonesia
II.2 Keberadaan situs Purbakala Trinil




















BAB III
PEMBAHASAN


III.1 SEJARAH MANUSIA PURBA DI INDONESIA
Darimanakah asal-usul manusia Indonesia? Untuk menjawab tentang asal-usul manusia Indonesia ada banyak teori yang menjelaskannya. Indonesia termasuk salah satu negara tempat ditemukannya manusia purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang belulang, baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang usianya sekitar ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari benda-benda peninggalannya yang biasa disebut dengan artefak. Manusia purba yang ditemukan di Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hampir sama dengan manusia purba yang ditemukan di negara-negara lainnya di dunia.
Bahkan Indonesia dapat dikatakan mewakili penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah penemuan manusia purba di Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa. Penemuan fosil manusia purba di Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah satu jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang manusia purba di Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19 para sarjana dari luar meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama yang meneliti manusia purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia. Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E. Dubois menemukan fosil yang ia beri nama Pithecanthropus Erectus di dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi (Madiun).
E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada tahun berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan sebuah geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa meter dari situ ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri. Untuk membedakan apakah fosil itu, fosil manusia atau kera, E.Dubois memperkirakan isi atau volume otaknya. Volume otak dari fosil yang ditemukan itu, diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki volume otak lebih dari 1000 cc, sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600 cc. Jadi, fosil yang ditemukan di Trinil merupakan makhluk di antara manusia dan kera. Bentuk fisik dari makhluk itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan ada yang menyerupai manusia. Oleh karena bentuk yang demikian, maka E. Dubois memberi nama Pithecanthropus Erectus artinya manusia-kera yang berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus = manusia, erectus = berjalan tegak). Jika makhluk ini kera, tentu lebih tinggi tingkatnya dari jenis kera, dan jika makhluk ini manusia harus diakui bahwa tingkatnya lebih rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum menemukan fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang paha tengah(femur), Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar teori tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah tiga landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama, seperti halnya dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di daerah geografi yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, binatang yang paling mirip dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek moyang kera besar diduga mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia. Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan, manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse. Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorila dan simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik, India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan ketiga dasar teori tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, maka Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua adalah ditemukannya fosil “java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang lebih dikenal dengan nama Homo Erectus di Trinil (Jawa Timur). Saat ini Homo Erectus dipercaya merupakan salah satu kerabat dekat manusia modern (Homo Sapiens).
Berdasarkan analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan metode mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis), diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah ilmiah bergengsi Science vol. 263 (1994). Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing link, yang menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya “java man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia purba di Sangiran (Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding temuannya. Selain itu, ada kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil “java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan penghitungan yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc. “Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing linkkera-manusia, ia lebih tepat disebut manusia purba.
Penemuan fosil manusia purba yang telah dilakukan oleh Dubois pada akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan upaya penyelidikan dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di daerah Trinil (Jawa Timur). Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan dukungan untuk menggambarkan lingkungan hidup manusiaPithecanthropus. G.H.R von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun 1936 sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936 Koenigswald menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi tengkorak tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun. Kemungkinan tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus Erectus, tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis.
Pada tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus lainnya. Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui. Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen tengah) dan paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus Erectuspenemuan E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah dan ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia purba yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan dinamakanPithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus Mojokertensis. JenisPithecanthropus memiliki tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.
Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1 setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka masih tinggal di padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan binatang buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok. Pada tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar dan kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak ada dagunya. Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripadaPithecanthropus. Makhluk ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus (mega = besar), karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakan hidup pada 2 juta sampai satu juta tahun yang lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas fosil tengkorak pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan Solo. Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada beberapa yang dapat memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu, tidak ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada Pithecanthropus Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia. Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya masih menonjol. Dahinya masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan menangkap binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang buruannya setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan dengan cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia. Menurut von Koenigswald, Homo Wajakensis seperti jugaHomo Solensis berasal dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk jenis Homo Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah sempurna mirip dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat meninggal. Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia jenis Pithecanthropus juga ditemukan di belahan dunia lainnya. Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina, di Cina Selatan ditemukanPithecanthropus Lautianensis dan di Cina Utara ditemukan Pithecanthropus Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup berturut-turut sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika, fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan di daerah Tanzania, Kenya dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropusditemukan di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil manusia Pithecanthropus yang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan Cina.
Di Australia Utara ditemukan fosil yang serupa dengan manusia jenis Homo Wajakensisyang terdapat di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari manusia purba yang ditemukan di Australia itu sangat mirip dengan manusia Wajak. Apabila menilik peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh karena itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan menggunakan jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan untuk membuat perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan Australia.
Setelah masa penjajahan Belanda selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh orang Indonesia sendiri. Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini terutama dilakukan oleh dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti lapisan-lapisan tanah. Seorang dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada penyelidikan tersebut adalah Prof. Dr. Teuku Jacob. Dia memulai penyelidikannya di daerah Sangiran. Penelitian ini kemudian meluas ke Bengawan Solo.

III.2 KEBERDAAN SITUS PURBAKALA TRINIL
Trinil, adalah nama yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sejak mempelajari ilmu sejarah ketika masih di bangku sekolah kita sudah dikenalkan dengan nama Trinil ini. Bahkan nama Trinil juga sangat dikenal di seluruh dunia, terutama di kalangan orang-orang yang mempunyai perhatian khusus di bidang antropologi khususnya sejarah manusia.

Sebagai bentuk perhatian maka dibangunlah sebuah museum di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Jawa Timur. Kemudian, museum tempat menyimpan koleksi fosil tersebut lebih dikenal dengan nama Museum Trinil.

Arti Trinil ini konon berasal dari pemberian nama oleh Eugene Dubois seorang berkebangsaan Belanda. Beliau adalah orang pertama yang menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus Erectus yang ditemukan di utara kota Ngawi, di Desa Karang Tengah. Pithecanthropus Erectus inilah yang kemudian diyakini sebagai jawaban atas missing link dari rangkaian teori evolusi Darwin.

Kata TRI diambil karena lokasi tersebut berada di antara tiga desa. Di sebelah timur aliran sungai Bengawan Solo itu adalah Desa Ngancar. Sedangkan di sebelah barat ada Desa Kawu. Dan di sebelah utara terdapat Desa Gumarang.

Sementara kata NIL karena dulunya para kompeni itu menyebut sungai itu dengan nama NIL. Maka diambillah nama Trinil itu, jadi Trinil itu sebenarnya merupakan nama sebuah situs. Dalam beberapa buku sejarah ada yang menyebutkan bahwa Trinil adalah nama sebuah desa, padahal itu tidak benar. Yang benar adalah sebuah situs yang bernama Trinil dan kemudian menjadi nama sebuah museum yaitu Museum Trinil.

Kabarnya fosil temuan Eugene Dubois yang lahir di kota Eijsden, Belanda pada 28 Januari 1858 itu terdiri dari tiga jenis fragment. Yaitu berupa gigi geraham dan atap tengkorak yang ditemukan pada 1891 dan tulang paha yang ditemukan setahun kemudian (1892). Penemuan ini tidak berlangsung bersamaan karena setelah penemuan pertama sungai Bengawan Solo meluap, sehingga pencarian dihentikan. Setahun kemudian baru ditemukan kembali fragment tulang paha yang jaraknya sekitar 12 meter dari titik penemuan pertama. Dimungkinkan hal ini terjadi karena gerakan dari lapisan bumi.

Fosil asli temuan Eugene Dubois kabarnya sekarang berada di Belanda, sementara yang di Museum Trinil ini hanya replikanya saja. Semua fosil yang berada di museum ini merupakan replika, mengingat nilainya yang sangat tinggi hingga tak ada yang berani meletakkan di museum ini. Kalau pun ada fosil manusia yang ditemukan biasanya langsung dibawa ke museum Suaka di Trowulan.

Trinil sendiri sangat terkenal di luar negeri seperti Belanda, Perancis, Kanada dan negara lainnya. Terlebih bila dilihat dari sisi sejarahnya yang sangat terkenal. Jadi tidak aneh bila para pengunjung yang datang, terutama sebelum krisis moneter menimpa, adalah pengunjung yang berasal dari luar negeri. Kabarnya ada wisatawan dari Jerman yang sering berkunjung ke museum ini. Tetapi setelah krisis moneter melanda, jumlah wisatawan asing yang datang menurun drastis. Yang ada sekarang hanya satu-dua saja, seperti dari Belanda, Australia dan Jepang. Konon mereka datang hanya sekedar untuk penelitian. Yang diteliti tentu saja fosil binatang yang ada di sana, sementara untuk fosil manusia biasanya mereka hanya meneliti lokasi penemuannya saja.

Lokasi penemuan fosil di Trinil ini semula sempat ditandai, namun arus air yang kadang begitu besar melalui sungai Bengawan Solo membuat tanda itu hilang. Yang tersisa hanyalah petak-petak tanah bekas penggalian. Namun di dalam lokasi museum masih ada tanda, sejenis monumen yang bisa dijadikan acuan di mana lokasi fosil-fosil Jawa purba itu ditemukan. Tanda di monumen itu menunjuk ke posisi 175 meter arah sebelah timur, tepat di sisi sungai yang melintas di dekat museum itu.

Terlepas dari untaian cerita seperti yang tertulis dalam sejarah ditemukannya fosil-fosil di seputar Trinil, dari hari ke hari ternyata ada saja fosil yang terus ditemukan. Para penambang pasir yang menggantungkan hidupnya dengan mengais pasir di sekitar aliran sungai Bengawan Solo itu, kadang mereka juga menemukan potongan-potongan fragment tulang yang diyakini merupakan fosil, walaupun mereka sendiri menyebutnya dengan balung (dalam bahasa Jawa yang berarti tulang).

Pemandangan yang bisa dilihat pada pagi hari adalah banyaknya penambang pasir yang ada di sekitar aliran sungai Bengawan Solo, mereka mengeruk pasir yang ada di seberang dan diangkut dengan perahu ke sisi sungai yang lain. Hampir seharian mereka mengerjakannya, hal itu harus mereka lakukan karena hanya itulah mata pencahariannya. Tidak hanya laki-laki dewasa, tapi ada pula wanita dan anak-anak.

Untuk bisa mencapai lokasi seperti yang ditunjukkan dalam monumen di sekitar museum, kita harus menyeberangi sungai dengan cara menumpang pada perahu penambang-penambang pasir. Kadang kita akan dibuat kaget dengan adanya penawaran dari beberapa orang penambang. Para penambang ini kerap menemukan fosil dan kadang mereka menawarkan pada beberapa orang yang datang melihat ke sana. Para penambang beranggapan bahwa setiap orang yang datang pasti sedang mencari atau kolektor fosil, sehingga bila mereka menemukan tulang saat menambang maka mereka akan menyimpannya dan akan ditawarkan pada setiap orang yang datang ke lokasi penambangan pasir di sungai Bengawan itu. Padahal seharusnya fosil-fosil ini diserahkan pada pihak yang berwenang karena memiliki nilai sejarah yang tinggi, dan yang lebih memprihatinkan adalah fosil tersebut ditawarkan dengan harga yang sangat murah, mungkin karena mereka tidak tahu dan tidak mau tahu soal nilai sejarah yang terkandung dari fosil yang mereka temukan. Mereka juga tidak tahu apakah itu fosil manusia purba atau fosil binatang. Yang pasti, setiap mereka menemukan tulang pasti mereka simpan, begitu melihat orang asing yang datang akan langsung mereka tawarkan.

Fenomena lain, kabarnya beberapa pencari fosil yang berasal dari daerah Sangiran ada yang datang ke Desa Kawu untuk mencari fosil. Ini terjadi karena di daerah asalnya fosil-fosil yang nilai jualnya tidak terlalu mahal mereka jadikan sebagai cinderamata, seperti menjadi batu akik atau pipa rokok.

Menurut cerita, penemuan fosil oleh masyarakat setempat di situs Trinil diawali oleh penemuan Wirodihardjo, oleh karena itu dia lebih dikenal dengan panggilan Mbah Wirobalung. Umumnya fosil yang ditemukan dan dikumpulkannya berupa fosil binatang, seperti tulang dan gading gajah. Pencarian itu dilakukan dengan cara sederhana seperti di cangkul sehingga bentuk fisik dari fosil temuannya rata-rata patah di beberapa bagian.

Mbah Wirobalung sendiri meninggal pada usia 80-an. Sebagai penghargaan, pemerintah setempat merenofasi rumah tinggal yang juga merupakan tempat koleksi fosil temuan yang sudah dilakukannya sejak 1968. Pada tahun 1980 pihak Pemkab Ngawi mulai mendata koleksinya dan bantuan pun diberikan dengan dibangunkan rumah kecil ukuran 6 x 10 meter untuk tempat koleksinya. Lokasinya masih di dalam area museum yang sekarang. Sepuluh tahun kemudian dilakukan renovasi total (1990), melalui anggaran APBD tingkat I sebesar 1 milyar rupiah.

Peresmiannya dilakukan oleh gubernur Jawa Timur, kala itu dijabat oleh Soelarso. Luas kawasan museum sekitar 1 hektar dan 2 hektar lahan diluarnya. Kawasan dalam museum merupakan tanggung jawab dinas suaka dan purbakala. Sementara diluarnya adalah otoritas pemerintah Kabupaen Ngawi.

Fosil Sejarah

Memasuki Desa Sukokawu, yang berjarak lebih kurang 12 kilometer arah barat dari pusat kota Ngawi. Tepat di ujung jalan sebelum masuk ke lokasi terdapat gapura besar berwarna hitam, dari sana untuk bisa mencapai Museum Trinil masih harus menempuh perjalanan sejauh 3 kilometer lagi. Museum yang berada di Dukuh Pilang itusekilas terasa gersang, namun hal itu tidak terasa lagi bila kita memasuki area museum karena beberapa pohon besar berdiri kokoh dan memberi keteduhan di beberapa pelataran museum. Belum lagi adanya sebuah pendopo yang berada tepat di depan pintu masuk. Tempat ini sering digunakan oleh para pengunjung untuk sekedar melepaskan lelah dan beristirahat setelah berputar melihat koleksi fosil yang ada di museum ini.

Di dalam museum terdapat sekitar 450 fosil purbakala yang sudah diregistrasi. Sedangkan sekitar 1.000 fosil masih belum diregistrasi dan disimpan di laboratorium. Sebagian besar fosil yang ada di sana memiliki masa yang sama, jaman pleistosin tengah, usianya antara 1 juta hingga 500 tahun silam. Termasuk golongan homoerectus yaitu pada jaman batu.

Tidak ada perawatan khusus untuk fosil-fosil itu, hanya dengan bantuan silikon atau silica gel untuk menghindari pelembaban atau penjamuran di dalam etalase, karena sangat tidak mungkin untuk mengangkat atau membersihkan secara langsung atas fosil-fosil itu mengingat kondisinya yang relatif rapuh. Butiran-butiran silikon itu dimasukkan dalam gelas kecil dan diletakkan dalam etalase kaca tempat fosil-fosil itu disimpan.

Koleksi fosil yang tergolong baru adalah berupa gading gajah sepanjang 1,45 meter, kerang dan fragment tulang tanduk kerbau yang ditemukan hampir bersamaan pada sekitar bulan Oktober 1998. Fosil tersebut ditemukan dari berbagai daerah di luar situs Trinil. Demikian pula dengan fragment tanduk kerbau yang ditemukan oleh masyarakat sekitar. Kabarnya proses penggalian fosil yang ditemukan secara tidak sengaja itu dilakukan secara sederhana sehingga kondisi fosilnya patah-patah.

Selain itu ada pula gading gajah yang ditemukan tahun 1986. Ditemukanpada lokasi sekitar 500 meter di utara Sungai Bengawan Solo. Kondisinya juga sudah patah menjadi beberapa bagian, juga karena proses penggaliannya yang sederhana. Bila gajah sekarang adalah jenis Elephast, gadingnya lurus ke depan dengan panjang maksimal 1,5 meter. Sementara jenis yang ditemukan fosilnya itu bentuk gadingnya agak menyamping dan panjangnya mencapai 3 meter lebih. Di Museum Trinil ini juga dapat dijumpai fosil gigi gajah, tulang badak dan sapi.




BAB IV
PENUTUP

IV. KESIMPULAN
Dari beberapa materi diatas dapat disimpulkan bahwan keberadaan manusia purba di indonesia memang ada itu terbukti dari adanya situs purbakala di beberapa daerah di indonesia salah satunya adalah situs Purbakala trinil. Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa situs purbakala semacam ini layaknya sebuah kaset DVD dimana di dalam nya terdapat sebuah rekaman tentang keberadaan manusia di zaman itu. Selain itu stus semacam ini juga menyimpan koleksi tentang fosil fosil dimana ini bisa menjadi acuan para peneliti untuk mempelajari struktur tubuh manusia purba dan sebagai sarana pengamatan tentang teori evolusi.
IV. DAFTAR PUSTAKA